My COVID story

Senin. Tanggal 5 Oktober, I started the week fresh. Tapi tiba-tiba 3-4 jam kerja, badanku terasa sakit. Kucoba abaikan kulanjut kerja. Paling gak harus cepat kuselesaikan yang harus kukerjakan. Badanku segitu gak enaknya dan meirang, jadi sambal nulis status pasien, aku minta bidan cek nadiku karena aku merasa takikardi dan berdebar. Masi berlaku santai sambil duduk di nurse station, aku juga minta tolong diukur tensi. Ternyata 90/50an gitu kan dengan heart rate 110-116. Dipikir-pikir mungkin pre-shock juga itu Gak pernah segitu sih, masih mencoba tenang walau badan ini udah memberi sinyal kuat kalo sangat gak enak. Setelah sebagian besar tugas yang utama-utama udah kelar, aku gak kuat dan milih baring di kamar jaga. Dingin. Gak ada selimut, pake mukena terus ditimpa ama sajadah lagi, kumeringkuk di sofabed kamar jaga, menggigil. Thought I’d get some rest when the morning shift ended, I forgot that I actually had double shifts that day, morning and afternoon. Sempat mikir apa karena mau period, karena waktu itu belum ada gejala saluran pernafasan. Tapi gak gini sih, biasanya H1 nya kalo karna itu dan gak sampe menggigil. Ini paracetamol udah diminum 3-4 jam gak mempan juga. Mau gimana, harus ditahankan lagi kerja.

Selasanya ku jadwal libur. Alhamdulillah bisa istirahat untuk mulihin diri kupikir. Tapi kok makin gak enak badannya. Badannya sakit minta ampun kayak habis digebukin. Dibanting-banting  waktu latihan aikido aja gak gini sih sakitnya. Cuma balik badan aja sakit kali. Mau jalan ngambil makan aja dah gak kuat. Lemah dan lemas betul. Tinggal sendirian gak bisa minta tolong siapa-siapa. Sedangkan mau ngambil minum ke lantai satu aja lemes, encok dan ngos-ngosan. Ambil hot and cream tarok sendiri ke punggung. Sepi makin meresapi, terpikir seandainya ada mamak kita bisa minta tolong oleskan ke punggung dan minta dikusuk dikit. Now that I think about it, it’s fortunate that she’s not here with me, or else I would have share this virus at its most infectious moment. Lain dengan pegal-pegal myalgia yang biasanya kalo kena paracetamol dan hot n cream cepet redanya, anehnya hot n cream malah bikin makin sakit. It felt like its particle pricked hard every each millimeter of my body surface. I told myself I would never put it on anymore. Kapok asli. Mulai bepikir ke arah DBD karena memang myalgia atralgia DBD pada dewasa itu sangat menonjol. Menggigil masih lanjut. Kedinginan, tapi keringat jagung gede-gede kayak abis olahraga zumba. Ambil parfum yang tiap hari lupa kupake, masih kecium wanginya. Terlalu lemas sampe pengen meriksa diri ke IGD RS, but hospital again in your rarely day off? Wait a minute. Terlalu sayang membuang hari liburku yang jarang itu untuk lagi-lagi ke RS, I told my self again to just rest more you might get better tomorrow, planned to work on my blood test tomorrow while doing my shift. Gak mau rugi waktu libur kali anaknya. Now I learn that probably it’s not a wise decision.

Because Wednesday, 7 Oktober I woke up in the same condition. Too ill to go to work, but I managed to come. Ngeliat awak lemes kek gitu mungkin, temen nanya apa ku jadi swab Sabtu (seharusnya terjadwal Sabtu untuk cek massal, itu juga kenapa dari minggu kemarin ku berpikir untuk menunda karena memang dalam waktu dekat ada wacana tes masal pegawai dan sebentar lagi udah Sabtu. Apalagi rada susah minta diswab bahkan di tempat kerja sendiri at random time kalo gak ada gejala yang jelas. Tau sendiri mahal swab PCR itu). “Gak. Hari ini aja” I was so sure to answer. Masih tried to get hold on myself ya, daftar dan nulis asesmen status sendiri, bikin lembar permintaan cek lab dan rontgen sendiri karena aku paling males ngerepotin orang lain. Atasan yang lagi kontrol liat ku di IGD bilang “masih ngantuk ya?/baru bangun ya?” I’m not sure—karena liat mataku udah layu dan kuyu kali. Terus sejawat jaga IGD jelasin aku lagi sakit. Ku pun nambahin “harusnya swab Sabtu, tapi kalo diizinkan saya mau minta swab hari ini juga...”. Langsung dipotong “Boleh. ACC sekarang juga”. I must’ve looked so bad karena biasanya gak semudah itu untuk pegawai di-acc swab disitu. Hasil darah lengkap dalam batas normal, rontgen dada berinfiltrat dikit gak terlalu khas. Sebenarnya ku malas minta tolong, tapi usaha aja untuk redain sakit badanku, I deliberated and finally asked for Vitamin B complex intravenous drip sambil nunggu diswab. Harusnya abis infus vitamin B, badannya jadi segeran significantly. Tapi ini ga ngaruh apa-apa. 

Kamis berlanjut dengan menunggu hasil swab di rumah dan gejala yang sama. Masih berpikir positif hasilnya semoga bukan COVID karena emang belum ada gejala pernafasan waktu itu.

Jumat 9 Oktober, keluar hasil ternyata positif. Kaget. Panik iya. Dikabarin juga CT value ku 4,04 which was very infectious and probably showed a high viral load. Makin panik dan cemas takut selama ini nularin ke orang meskipun ku selalu pake masker dan cuci tangan. Sorenya admitted di RS tempat kukerja. Sebenarnya di Jumat ini gejala yang kurasa berat tadi udah mereda banyak. Fase pengalaman terburuknya udah lewat. Tapi malah hari ini nyoba nyium minyak kayu putih kok gak ada baunya. Dan mulai muncul lagi batuk2 kecil. Tenggorokan kadang-kadang ada juga sakit minimal, Diinget-inget lagi, sempat ada sih di hari Selasa, tapi Rabunya ilang.

Minggu, 11 Oktober dirujuk ke RS khusus rujukan COVID. Baru kali ini masuk ambulan jadi pasiennya. Disini dirontgen ulang. Abu-abu wak lower and middle part on both lungs nya. Jelas bilateral infiltrates, berprogres dari rontgen sebelumnya. Khawatir lagi kan. Inilah sebagai nakes tuh, kita ngerti apa yang terjadi jadi kita lebih khawatir lagi. Walaupun saturasiku masi normal, jadi aku coba fokus kesitu aja. 

Tapi emang feeling mamak-mamak itu memang kuat sih. Waktu aku lagi sakit-sakitnya, mamakku kumat kali rindunya. Nelpon suaranya begetar nahan nangis rindu kali :(. Terus ngajak video call agak maksa (dah lama memang gak video call because I’ve been finding it hurts so much to do it until now so I always refuse). Minta kirimin foto segala, “foto dina mana. Video call gak boleh”. Gak pernah sampek gini sih. Apa gak merasa bersalah kau sebagai anak. It’s even lonelier because I made myself lie to my family while I needed their praying so much when I feared that I might dead because of this (mungkin lebay, tapi COVID gak bisa ditebak. Dengan paru yang kekgitu dan CT value segitu aku banyak-banyak berdoa biar aku bisa melewati ini. At those time, I thought a lot of death. My grief from the loss is still much and at time I wasn't sure that I could survive. Amalanku belum banyak. A lot of heavy thoughts--with all body condition, mix with psychological feelings. The truth is it's not easy for me). Kadang I asked for their du’a in disguise, bangunin tahajud malam karena ku sendiri lagi gak bisa tahajud, “bangun Nda, doain biar sehat-sehat dan lancar kehidupannya”. Awal-awal sempat terlalu lemas jawab telpon sampe jadi keliatan “kok lemas kali? Sakit dina? Sehat?”. Agak-agak berlinang juga kukuatkan jawab “sehaaat, lagi capek aja”. Gak biasa bohong gini, biasanya semua diceritakan, merasa bersalah jadinya. Tadinya mau jujur kalo udah sembuh, tapi mikir lagi. I guess I might will never be able to tell the truth because the fact that I hid the truth and lied probably will be more dissapointing than the situation itself. Mau pulang kali rasanya. Now that I think of it, it’s also fortunate that while this happened, I wasn’t around them otherwise I would cause them infected.

Hampir aku ketauan gara-gara Bunda pengen ngirim makanan via gosend di hari ulang tahunku whilst I stop celebrating birthdays. I don’t want to maintain the tradition, I wasn’t used to anyway. But I know it’s part of her happiness if she can provide some foods for her kids. So I came up with pricey delivery charge excuse. Thankfully, it’s well understood. Never had they had idea that I turned 27 in my isolation in the hospital.

Gak jelas ini titik waktu kenanya kapan karena aku rasa aku sudah menjaga. Wallahu a’lam. Tapi aku curiganya waktu aku resusitasi bayi baru lahir dari prosedur SC di OK. Agak kelamaan sih from the time point of view. Sepertiga akhir September, tiba-tiba Dokter Spesialis Anak (DSA) di RS ku positif COVID. Belum mikir apa-apa. Sampe gak lama setelah itu perawat yang kena. I began to feel anxious. I remembered being next to those two in the operating room, doing routine care for a neonate. I was the one who did suction. The baby was all good, had 8/9/10 APGAR but with quite a lot liquid suctioned from his/her respiratory tract. Aku pun merasa agak batuk-batuk ringan tanpa sekret, gak terlalu spesifik. Bisa batuk fisiologis aja atau psikosomatis aja. Tapi aku jadi request minta dimajukan untuk jadwal swab masal juga. Aku juga cek lab untuk screening dan hasilnya bagus-bagus aja. Aku tau dengan lab yang biasa aja dan gejala yang gak khas gini, I bet it’s very unlikely that I would be approved to take the swab test. Ketat emang. We risk our health even our family’s but if we get infected, our effort to protect ourself is being questioned, our discipline to wear PPE is being doubted. Dibilang kontak erat juga tapi kita semua pake APD. Atau kena dari moment lain gatau juga. Tapi yang jelas semua yang ada di keliling infant warmer bayi itu di OK, Dokter spesialis anaknya, perawatnya, dokter umumnya udah kena semua.

21 Oktober 2020, swab ulang. Hasil masih positif. Jadi sakit kepala lagi kan makin.

29 Oktober 2020, dinyatakan sembuh dan selesai isolasi. Akhirnya staycation ku di RS itu selesai.

Big thanks to people who help, support, and pray for me. It meant so much to me. Gak bisa minta doa orang tua, kuminta doakan sama beberapa teman dekat. Berterimakasih juga sama petugas di RS. Mereka tiap shift nahankan pake hazmat 8 jam itu bukannya nyaman. Harus menahan mpis dan mpup, tidak makan dan tidak minum selama itu. Vien, my friend who happened to be volunteering visited me three times. Sambil duduk scrolling aplikasi gojek dia bilang “Eh gofood yok” trus langsung tersadar “oh sh8t, aku gak bisa ya”.

Komentar

Postingan Populer